Sejarawan Ungkap Bukti Nasionalisme Tak Terbantahkan dari Riau, Tapi...

Sejarawan Ungkap Bukti Nasionalisme Tak Terbantahkan dari Riau, Tapi...
Sejarawan Prof Suwardi MS

PEKANBARU (CAKAPLAH) - Menyambut peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, Sejarawan Prof Suwardi MS mengajak masyarakat untuk menoleh ke belakang. Mengingat kembali kisah besar yang jarang dibicarakan yaitu sumbangsih Riau melalui Kesultanan Siak terhadap Republik Indonesia.

Dibalik tatapannya, terpancar sorotan kenangan tempo dulu pascakemerdekaan. Ia membuka percakapan dengan nada lirih, bahwa generasi sekarang harus mengetahui terdapat jejak patriotisme dan kontribusi dari Bumi Lancang Kuning untuk NKRI.

“Generasi sekarang harus tahu, ada kisah perjuangan dan kontribusi dari Riau untuk Indonesia. Pasca kemerdekaan, dari segi ekonomi, Riau telah menyumbangkan sumber daya alamnya untuk membantu pemerintah pusat,” ucapnya, di Pekanbaru.

Ia menuturkan, setelah Indonesia merdeka, Riau telah menyumbangkan kekayaan sumber daya alam untuk Indonesia. Satu diantara tonggak penting itu berasal dari ladang minyak.

“Minyak kita ini, pertama kali merupakan bagian sumbangan dari Sultan Siak kepada Republik Indonesia. Setelah kemerdekaan tahun 1945, Sultan menyerahkan segalanya demi kemajuan Indonesia,” katanya sambil menatap jauh, seolah kembali pada suasana masa itu.

Lebih dari sekadar sumber daya, Kesultanan Siak juga mengambil langkah monumental. Sultan Syarif Kasim II menyetujui bergabung untuk bagian Republik Indonesia. Harta kekayaan dari kesultanan juga disumbangkan kepada pemerintah.

Terdapat berbagai benda pusaka dan 13 juta gulden, diberikan kepada Republik Indonesia pada tanggal 28 November 1945. Ia menjelaskan, ini bukan sekadar bantuan saja tetapi simbol dukungan dan keikhlasan untuk NKRI.

“Kesultanan Siak menyetujui melepaskan kedaulatannya dan bergabung menjadi bagian Republik Indonesia. Harta kekayaan Sultan Siak juga disumbangkan kepada pemerintah,” jelasnya.

Namun, di balik kebanggaan itu, Prof Suwardi mengungkapkan nada getir bahwa Riau dipandang sebelah mata. Tak banyak yang menelisik ulang, perjuangan bumi lancang kuning. Bahkan, hasil kekayaan alam Riau hingga saat ini masih terus mengalir ke pusat, tapi jarang pulang membawa hasil sepadan.

"Nah, sayangnya itu tadi banyak yang  lupa, kadang-kadang kepada jasa Riau," ujarnya.

Baginya, mengetahui kontribusi Kesultanan Siak adalah memahami juga jiwa nasionalisme orang Riau. Dengan begitu, sangat naif rasanya apabila ada pihak-pihak menyebut kalau masyarakat Riau tidak mencintai Republik Indonesia.

"Kalau kita melihat tentang bagaimana sumbangsih Kesultan Siak, kita jadi paham tentang perjuangan dari Riau pasca Indonesia merdeka. Ditambah lagi kalau ada yang menilai Riau tidak negeri pahlawan, itu jelas keliru. Jiwa nasionalisme di sini nyata,” tegasnya.

"Jadi, itulah yang menjadi kerisauan kita sejak dulu. Padahal masyarakat kita sudah memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme," lanjutnya.

Di sela penjelasan, ia menyampaikan terkait perhatiannya kepada negara ini bukan hal baru. Sejak 2014, dirinya telah dikukuhkan Kementenrian Nasional sebagai pelaksana pengkajian pahlawan daerah. 

“Sejak 2014, setelah ada sosialisasi undang-undang kepahlawanan dari Kementerian Sosial, saya ditunjuk sebagai pelaksana pengkajian pejuang-pejuang di Riau. Alhamdulillah, tahun ini ada delapan tokoh yang diberi penghargaan tanda jasa oleh Gubernur,” tuturnya.

Adapun nama-nama tokoh tersebut yakni Yusuf (1921-2006), Prof Drs H Said Mahmud Umar (1932-2005), Nahar Effendy (1928-1997). Kemudian, Syekh H Abdul Fattah Al Banjari (1860-1967), Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazam Syah (1730-1791), Dra Hj Fatimah Hadi (1927-2007), dan Affan Basri SH (1930-1995).

Diterangkan, kedelapan tokoh ini memiliki latar belakang beragam, dari pendidikan hingga kesehatan dan ekonomi. Semua, kata dia, punya peran penting dalam menguatkan pondasi bangsa di wilayah Riau. Namun, perjalanan menuju pengakuan sebagai Pahlawan Nasional masih panjang. 

“Saat ini ada tiga tokoh yang kami usulkan menjadi Pahlawan Nasional, yakni Mahmud Marzuki, Tengku Buang Asmara, dan Sultan Muhammad Ali (Marhum Pekan). Berkasnya sudah di pusat, tapi prosesnya belum selesai,” terangnya.

Ia menekankan bahwa perjuangan mengangkat nama para pejuang daerah tidak boleh berhenti di tingkat provinsi. Sebab, ini sangat penting dalam menyingkap sejarah untuk generasi muda.

“Makanya, tiap tahun harus ada pejuang dari kabupaten/kota yang diusulkan. Ini penting sebagai teladan bagi anak cucu, menunjukkan bahwa negeri ini berjuang demi keadilan dan kemakmuran bersama,” ungkapnya.

Dalam pandangan Prof Suwardi, pahlawan bukan sekadar sosok dalam buku sejarah, tetapi energi moral yang menghidupkan semangat bangsa. Ia mengaitkan hal ini dengan momentum HUT ke-80 Republik Indonesia. Menurutnya, perayaan bukan hanya soal pesta, tapi juga waktu untuk menanamkan kembali nilai pengorbanan.

"Jika generasi muda mengenal mereka, kita bisa lebih kuat menghadapi tantangan zaman. Sejarah itu harus menjadi fondasi perayaan kemerdekaan tidak hanya seremonial,” imbuhnya.

Prof Suwardi, menceritakan kisah Kesultanan Siak adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah Riau yang berperan di panggung nasional. Ia mengingatkan bahwa tanpa kontribusi daerah, republik ini mungkin akan berjalan lebih lambat pada awal kemerdekaan. 

“Bayangkan, tahun 1945 itu pemerintah belum punya kekuatan finansial. Sumbangan dari Sultan Siak adalah upaya yang sangat membantu Indonesia. Semoga momentum 80 tahun kemerdekaan ini membuat kita lebih adil mengakui jasa semua daerah, termasuk Riau. Jangan sampai sejarah besar ini terkubur,” tutup Prof Suwardi dengan mata berkaca-kaca.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index