Di Sebalik Kalamusika

Rabu, 23 Juli 2025 | 15:26:49 WIB
Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan

Oleh: Husnizar Hood, Seniman dan Budayawan, Bermastautin di Kepulauan Riau

“Kalamusika”sudah berlalu, hinggar bingar di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru malam Ahad 19 Juli 2025 kemarin, Ahamdulillah berjalan sesuai rencana, hanya sayangnya kawan saya Mahmud tak dapat ikut ke kota yang bertajuk Bertuah itu. Bukan saya tak mengajak dia tapi dia memang tak dapat ikut konon katanya, ia tak dapat izin dari bininya, sampai ke soal bini ini memang hilanglah kuasa kita.

Makanya pagi ini bukan main cepat dia memburu saya, habis Subuh, tak lengah sudah masuk pesan WA nya, “Jam berapa ngopi?’, tanyanya, itu pertanyaan seperti biasa, bukan hanya ngopi tapi pasti ia mengejar paket “sarapan gratis, rokok gratis sambil mendengar cerita saya dan menerima oleh-oleh pisang kipas Pekanbaru dari bini saya untuk bininya”.

Kalamusika itu sebenarnya panggung pembacaan puisi biasa yang kemudian menjadi tak biasa adalah ketika ia harus diurus dengan berbagai unsur pendukung lainnya menjadi sebuah seni pertunjukan, musik yang digarap, gerak tari yang diolah, set dekor yang bertema dan audio visual yang disesuaikan.

Konsep ini pertama ditawarkan di tahun 2021 oleh Fatih Muftih dan barisan penyair muda di Tanjungpinang yang merasa panggung pembacaan puisi semakin hari semakin membosankan dan kehilangan penonton, adalah seorang Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, namanya Joko Yuhono yang tertarik dengan konsep itu dan kemudian ia menjadi bintangnya pada Kalamusika perrdana, saya ingat waktu latihan kawan saya Mahmud sempat bilang ;

“Walaupun Pak Joko itu membaca puisinya bagus, suka ajak kita ngopi tetap saja saya risau Tok, apalagi berlatih puisi di kantor jaksa macam sekarang ini, dah berapa puluh tahun kita di Tanjungpinang , rasanya baru sekali ini kita masuk ke kantor Jaksa, puahsiseh...”, ujar Mahmud agak pelan, setengah berbiisik kepada saya.

Saya hanya tersenyum saja, karena bagi saya seorang penyair itu adalah seorang pemberani, ia tak kenal takut karena penyair adalah penguasa kata-kata, begitu kata orang bijak. walaupun dijantung saya tetap saja agak laju berdetak.

Seperti yang terjadi sepekan sebelum Kalamusika pada malam Ahad kemarin, rasa takut dan risau itu datang berulang, sudah seminggu badan saya kondisinya tak molek, tiba-tiba dokter di Tanjungpinang mendiagnosa saya dengan berbagai tuduhan penyaikit yang sulit saya terima, sebagai seniman yang aktif berolahraga agak tersinggung juga saya mendengarnya, tapi siapa yang dapat melawan “qadarullah”. “Banyak-banyak Istighfar”, jawab Norham kawan saya  di Pekanbaru. Suaranya seperti tak ada beban.

Kalamusika Riau ini memang saya dan Norham Abdul Wahab nama lengkapnya yang telah sejak awal merencanakannya, suatu malam kami bertemu dengan Herimen, panggilan akrabnya seorang Jendral berbintang dua dengan jabatan Kapolda Riau di rumah singgah Jalan Cemara. Saya, Pepy isteri saya dan Norham Wahab kami diapit beberapa petinggi jajaran polda, dengan satu pertanyaan awal  dari Jenderal Herry Heryawan itu, “Apa yang mau dibuat bang?

Dia memang membahasakan dengan memanggil saya “abang”, dari dulu,  kami memang pernah kenal dan dia juga kenal dengan saya sebagai seorang seniman tapi sekarang agak risih mendengar panggilan itu, maklumlah jauh tinggi pagkatnya kita ini cuma orang biasa, kawan saya Mahmud nampak serius mendengarkan cerita saya dengan seksama.

Jawaban saya singkat, “Sastra adalah rajawali kesenian di Riau, Jenderal dan saya mau mengajak Jendral berada di panggung yang sebenarnya”.

“Jadi”, jawabnya tegas dan kami mulai mendiskusikan materi acara dan waktu hari pelaksanaan sementara kita tahu ada banyak agenda yang sedang disusun beliau apalagi rencana kedatangan Kapolri di tanggal 12 Juli 2025 di Pekanbaru dan selanjutnya “Riau Bahyangkara Run” yang sudah menghebohkan jagat pelari Indonesia.

Badan tak molek yang membuat saya tak bisa ikut berlari di Riau Bhayangkara Run hari minggu itu, tapi Norham tetap bertanya “Dah tiba di Pekanbaru?”, dia tetap memaksa saya datang ke Pekanbaru ia kirim tiket dan voucher kamar hotel maka di hari Senin didampingi perawat seumur hidup saya, siapa lagi kalau bukan Pepy isteri yang cantik molek, kalau tak dipuji dia marah, kamipun tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, sambil Pepy berfoto di fotobooth Pacu Jalur yang ada di tempat kedatangan itu. “Ahamdullah, mantap”, begitu balas stiker dari Jendral waktu kami melapor kedatangan kami.

Tapi sejak saya dan Pepy datang, malam tiba, besok pagi, sampai siang tak ada juga kabar yang datang akan nasib Kalamusika, dapat dibuat atau tidak, waktu tinggal empat hari lagi, di WA grup mulai ada nada yang menganggap kami ini tukang borak, atau mungkin juga pembengak.

Mana HP Norham nampaknya sama-sama tertidur tak dapat dihubungi sampai Zuhur, maka saya minta tolong Bobie, seorang keponakan anggota polisi menjemput kami, baru sekitar jam satu siang kami  dapat berdiskusi panjang, bersama Norham dan Iwan Irawab, sanggup atau tidak, dibuat atau batal, tetap semangat atau kita terus berbual, sampai kami memutuskan menunda Kalamusika. Aduh mak!

Entah berapa kali Pepy mengkoreksi WA saya yang nak melaporkan ke Jenderal Herimen tentang penundaan acara itu, takut salah tulis, salah kata, yang kita hadapi ini seorang Jenderal, jangan gara-gara mulut badan binasa, apalagi zaman sekarang jangan gara-gara jari badan merana, agak panjang juga doa yang kami bacakan sebelum WA dikirimkan.

Tak sampai lima menit, masuk panggilan telepon di Hp saya,  kita tahu, jangan sekali buat salah yang bikin dia marah. “Siapa yang batalkan acara itu?”, tanyanya. Jantung saya berdegup laju.”Ampun, siap salah”, jawab saya meniru jawaban kalau ada anggota polisi yang lagi dimarah. “Tunggu saya disitu!”, balasnya tegas.

Pusat Latihan Tari Laksemana yang sudah berdiri 40 tahun  dan Iwan Irawan Permadi pendirinya yang akan bertindak sebagai ‘Art Director’ dalam Kalamusika dan kebetulan sedang berulang tahun di usianya ke 65 pada hari itu,  mendapat kado bersejarah sanggarnya didatangi Pak Kapolda Riau, sanggar seni yang berada di Gobah itu dan kebetulan terletak hanya beberapa meter dari Markas Polda Riau ini memang menjadi sekretariat dan tempat berlatih kami.

“Sudah, semuanya mulai dikerjakan, harus bagus, jangan merajuk” guraunya dan pecahlah tawa kami, apalagi Fedly dan Sendy yang sejak dari tadi haqqulyakin dan optimis Kalamusika  dapat dilaksanakan walaupun waktu efektif hanya tersisa tiga hari. Dan sampai waktu Asyar tiba kami berbincang di tempat yang sederhana itu, Jenderal itu duduk dikursi plastik sambil menikmati ubi yang digoreng dadakan.

Jumat malam Sabtu saat gladi bersih saya  dipanggil menuju kursi paling atas gedung kesenian, seperti biasa Jenderal Herimen tiba-tiba sudah ada dalam kegelapan, bersama Ramon Damora mereka menyaksikan gladi sambil berbincang kadang filsafat kadang makrifat, bagi saya itu pembicaraan kelas berat.

Keesokan harinya ketika istirahat makan, tiba-tiba masuk beberapa kiriman foto dari Herimen Kapolda yang digelar oleh Dato Taufik Ikram Jamil sebagai Kapolda Budaya itu,

“Saya tak bisa ikut, saya memilih memadamkan api”, tulisnya, kemudian beberapa WA lagi masuk, “Ini soal marwah, jangan harga diri kita diinjak-injak”, saya melihat video Jenderal itu sedang berjibaku dengan api, ada hutan yang terbakar dan asap mulai merebak.

Kalamusika malam itu memang tanpa Herimen tapi Agung Nugroho Walikota Pekanbaru itu tetap berteriak dengan pede-nya puisi berjudul “Cayo Den”, saya percaya dengan Herimen, katanya, begitu juga Pak Gubernur Abdul Wahid yang bertutur dengan teratur diluar espektasi saya, ia seperti sedang berada dalam petuah-petuahnya “Hilang Rimba Hilang Bahasa”, diantara  para penyair tingkat “dewa” itu. Alhamdulillah.

Pagi Minggu saya bergegas meninggalkan Pekanbaru terbang ke Kuala Lumpur, kawan saya Mahmud cepat menoleh ke arah saya, “Jauh main ke KL?”, tanyanya. Bukan saya tak mau berlama-lama di kota timang-timangan ini tapi badan ini seperti Lowbatt, perlu dicas, saya perlu segera berobat dan ketika saya dan Pepy keluar dari bandara Kuala Lumpur kami menggunakan grab, supir kami seorang perempuan, ia menggunakan masker dan pertanyaan pertamanya adalah ; “Ade kebakaran hutan di pulau Sumatera ya, Encek?”, saya tak menjawab, diluar mulai nampak berjerebu, memang ini marwah kita, Selamat berjuang, saya percaya padamu Jenderal!

Terkini